Laman

23 Juli 2016

Sastra Anak: Minggir Nyingkir Pimpinan yang Curang

Keluarga petani
(http://foodbusiness.esy.es/2015/04/)
Salah satu dari beberapa segi kesusastraan yang patut mendapatkan perhatian ekstra itu adalah sastra anak. Ya, saatnya bicara tentang sastra anak. Bagaimanakah sebetulnya sikap Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/Lekra) terhadap dunia yang kaya tapi tak maksimal digarap kalangan sastrawan ini. Bagi Lestra, sastra anak adalah sastra yang bergerak di ranah sastra yang sepenuh-penuhnya menyuluh edukasi.

Anggota Pimpinan Pusat Lekra Sugiarti Siswadi dalam presentasinya pada Konferensi Nasional I tahun 1963 Lembaga Sastra (Lestra/Lekra) di Medan mengatakan bahwa sadar akan pentingnya sastra anak berarti sadar akan tugas vitalnya dalam menyiapkan anak-anak menjadi manusia zamannya. Lestra sebagai organisasi yang mengurusi seluk-beluk sastra mesti juga melihat sastra anak sebagai satu bagian dari seluruh bagian sastra Indonesia yang mesti mendapatkan perlakuan khusus dan utama. Karena betapapun masa anak adalah masa yang sangat menentukan bagi pembibitan ide, moral, dan kecenderungan masa depan yang berpihak pada semangat kerakyatan. Lestra sadar bahwa kanak-kanak adalah suara bagi masa depan. Dan masa depan yang diyakini Lestra bisa mengantar Indonesia menggapai kejayaannya adalah sosialisme. tra anak. Bagaimanakah sebetulnya sikap Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/Lekra) terhadap dunia yang kaya tapi tak maksimal digarap kalangan sastrawan ini. Bagi Lestra, sastra anak adalah sastra yang bergerak di ranah sastra yang sepenuh-penuhnya menyuluh edukasi.
Pendidikan kanak2 adalah masalah jang pelik jang tidak dapat diselesaikan dengan tergesa2, namun jang harus dimulai sedjak usia muda. Padanja harus kita berikan bekal untuk mendjadikannja manusia yang bersegi, memberikan padanja pandangan dunia jang ilmiah, tjinta kerdja dan tjinta rakjat pekerdja, keagungan manusia, ja, kebenaran dan kebesaran sosialisme. Ini adalah tuntutan jang tidak dapat dibantah lagi, apabila kita benar2 hendak membangun sosialisme Indonesia.[1]
Sosialisme Indonesia adalah suatu ajaran atau nilai praktis yang diacu. Ia menjadi nilai dan sandaran kemana langkah diayun. Tapi bagaimana raut "Sosialisme Indonesia" yang mesti ditempuh dan dicintai oleh dunia sastra anak itu? Sugiarti menjabarkannya:
Mentjintai sosialisme harus sekaligus dibarengi dengan ketidaksukaan—apabila kita tidak mau memakai istilah kebentjian—kepada semua jang anti-sosialisme. Djadi disamping pendidikan mentjinta, harus kita tanamkan perasaan tidak suka, bentji. Mungkin akan ada beberapa orang jang berkata, bahwa adalah suatu dosa besar menanamkan kebentjian pada anak2. Tetapi apabila kita fikirkan dalam2, selama ini kita sudah menanam sematjam kebentjian kepada anak2, misalnja bentji kepada kedjorokan, dusta, mentjuri, berchianat, sombong, mendjilat, malas, boros, malahan pada tahun2 belakangan ini kita menanamkan kebentjian kepada pendjadjahan.[2]
Rupanja “semangat kebentjian” yang ditanam secara sadar dalam sastra anak itu tiada lain untuk memperteguh sikap mereka untuk mengarungi masa depan pertarungan ideologi yang berlangsung dalam masyarakat dunia saat ini di mana perang berkecamuk, infiltrasi kebudayaan sampah diekspor segiat-giatnya oleh Barat. “Semangat kebentjian” itu ditunjukkan untuk membekali jiwa kanak-kanak yang menyambut dunia baru dan sekaligus memberi mereka sabuk pengaman yang kuat.
Memberikan watak jang tegas, apa jang mesti ditjinta dan apa jang mesti dibentji. Sebab apabila tidak demikian, sastera kanak2 kita akan ketinggalan dengan perkembangan kanak2 sendiri. Kanak2 kita sudah biasa mendjandjikan dan menjatakan misalnja:
“Hantjur lebur Belanda kita gempur.”

“Minggir njingkir pimpinan jang tjurang.” Harian Rakjat. “Literatur kanak2”.[3]
Pada pekerja sastra yang tergabung dalam Lestra berpendapat bahwa anak-anak yang sudah merabai sepotong-potong realitas dan sudah menjadi tugas sastrawan untuk mengajari mereka bagaimana menyelami hakikat dari realitas itu. Itu berarti bahwa kepada generasi belia itu mesti ditanamkan “pemahaman atas pertentangan dalam masjarakat dan dalam diri manusia”.

Tentu pandangan seperti ini bukannya disadari akan dicibir banyak orang dalam kurun semasa dengan misalnya, “Nah, lihatlah, sekarang kanak2pun mau dipolitikkan”. Jika ada komentar begitu, lalu apa jawaban sastrawan Lekra? Ini jawaban resmi mereka:
Bagi kita tidak ada dosa jang lebih besar daripada bilamana kita tidak menjiapkan kanak2 kita untuk nantinja mendjadi manusia jang berguna bagi zamannja, jang mengenal politik, djadinja kenal akan tugas2nja masing2. Dan kapankah kita memulainja, bila tidak semendjak muda? Orang2 tua kita biasa mengatakan, bahwa: “Anak2 sudah dididik semendjak masih dalam kandungan. Dididik mengenal jang baik.” Dan apakah jang baik bagi kita ketjuali sosialisme? Apakah jang lebih baik daripada mendjadi manusia sosialisme? Apakah jang lebih djelek daripada sikap antisosialisme dan manusia musuh sosialisme?[4]
Dengan arahan keyakinan ideologi seperti itulah sastra anak dimajukan. Sikap itu yang menjadi pegangan bagaimana menulis sastra anak bagi sastrawan yang mencoba menjajal di bidang itu. Inti sastra anak dalam lingkup sosialisme dijabarkan dalam seikat kata: panca cinta.
Pendeknja, literatur kanak2 harus konsekwen mendjundjung pantja tjinta (tjinta tanahair, kerdja, manusia, perdamaian dan orangtua) jang diabdikan kepada tjinta sosialisme.[5]

Pasca Revolusi Agustus
Secara historis, demikian Lestra meyakini, sesudah Revolusi Agustus sastra anak belum menunjukkan perbedaan watak dengan sastra sebelum Revolusi. Malahan pada tahun-tahun pertama Revolusi nyaris perhatian pada sastra anak berada pada titik nadir. Dalam catatan Konfernas Lestra I bahkan disimpulkan bahwa terjadi bencana besar seiring meredupnya spirit Revolusi. Salah satu produk yang disorot adalah banjir komik-komik terjemahan di Indonesia pada awal-awal tahun 1950-an.
Pada masa itu (kira2 tahun 1952-53) buku2 komik tak bermoral membandjiri Indonesia. Apabila pada mulanja buku2 komik itu didatangkan dari luar negeri (Amerika Serikat dan Singapura), kemudian komik2 itu “diterdjemahkan” kedalam bahasa Indonsia. Pusat penerbit komik “terdjemahan” itu ialah Bandung dan pada achir2 ini dipimpin Medan.
Apa jang disadjikan leh buku komik tsb sehingga kita tanpa ampun telah melawannja? Komik itu mendjadikan tjeritera petualangan anarkisme, sensasi, superman, perkelahian, bandit2an, science fiction sok ilmiah. Sedangkan komik jang maunja hendak mengangkat perbendaharaan dongeng2 rakjat, telah dengan seenaknja sendiri mengebiri watak jang karakteristik dari dongeng2 kita.

Betapa tidak, tjeritera klasik kita, wajang misalnja, fabel kita mempunjai kepribadian jang kuat. Ketjerdikan dan kedjenakaan kantjil, kebidjaksanaan dan kesetiaan gadjah, lantjungnja buaja, tjulasnja adjag, perkasa tapi dungunja kerbau, keras kepalanja keledai, bidjaksananja Kresno, kritisnja Petruk, tegarnja Bima, dll. Tetapi komik2 itu telah mengolah dongeng2 itu begitu rupa, sehingga jang ketinggalan memang hanya ke”tjompang-tjampingannja” sadja.[6]
Kalau Lestra menggebu menyerang komik itu bukan di sisi cerita yang digambarkan, namun semata karena muatan cerita yang disandangnya.

Berikutnya yang disorot Lestra adalah cerita-cerita silat murahan, cerita-cerita detektif dangkal, dan cerita-cerita spionase picisan. Dan buku-buku jenis ini beredar cukup luas di Jakarta. Dan sekali lagi, bahwa buku berjenis ini memang sangat digandrungi karena memuat serangkaian ketegangan dan petualangan.
Tidak perlu diterangkan lagi, bahwa tjerita silat, tjerita detektif, dan tjerita spionase ini sama djahatnja dengan buku komik, tetapi buku2 ini mempunjai bumbu2nja jang lain. Terutama dalam tjerita detektif dan spionase (jang suka dikatakan tjerita njata, padahal isapan djempol sadja), telah dengan sadar dimasukkan American way of life dengan dia punja sex dan perang dingin (tegasnja antikomunis).[7]
Bukan cuma komik, cerita silat, detektif, dan spionase yang digugat Lestra, tapi juga cerita-cerita anak yang diproduksi penulis-penulis lokal yang menimbulkan “rasamuak” bagi masyarakat sastra Lekra karena “tidak memahami kenjataan bahwa Indonesa sudah merdeka”. Buku-buku itu memang sudah tak berisi kisah-kisah seperti ndoro sinyo, bendoro, nonik, tuan besar, jongos dan babu. Contoh buku yang dimaksud tertera berikut ini, yakni buku S. Sukardji dalam Seri Si Pitak (khususnya cerita “Si Pitak” dan “Kerani Muda”). Buku ini dituding menyebarkan semangat rasialisme.

Buku ini berkisah tentang buruh perkebunan di satu daerah pedalaman Kalimantan yang memberontak karena terlambat mendapat “tjatu madat”. Bahwa yang memberontak itu adalah buruh-buruh Tionghoa. Juga ditulis dalam buku itu, bahwa si kerani muda harus berani berhadapan dengan buruh-buruh bumiputra yang suka curang dalam membag catu. Oleh penulis tentu saja diangkat orang-orang jujur, pembela keadilan, yang pada hakikatnya pengkhianat-pengkhianat kaum buruh dan penjilat majikan. Antagonis dalam cerita itu tentu saja si Pitak, seorang kerani muda usia. Tetapi bagaimana sosok majikan? Nah, si majikan ini adalah sosok kulitputih berkebangsaan Inggris dan oleh penulis diperlakukan sungguh istimewa dan tak sedikit pun memundaki rasa dosa dan salah. Kasih sayangnya kepada si Pitak sama nada sayang seorang tuan besar kepada kacungnya. Di titimangsa inilah Lestra menjadi berang bukan main melihat penulis-penulis berwatak begini.

Lestra tak menuduh bahwa yang salah dalam hal ini adalah anak-anak muda berusia belia itu. Namun sikap ugal-ugalan penulis yang tak tahu diri dan pendistribusian “buku2 djahat” itu yang patut mendapat sorotan. Setidaknya ada enam alasan yang dirangkum Lestra.
1. Buku2 itu membandjiri pasar. Ini adalah sistim kwantitatif (jang menjebabkan orang “kerandjingan”) dan tjara dagang mereka.
2. Buku2 jang baik dari kita tidak banjak, dan tidak dapat menandingi banjir tsb.
3. Kontrol orang tua jang kurang, malahan mungkin banjak orang tua jang suka membatja buku2 sematjam itu.
4. Pengaruh jang timbal-balik dengan film, musik dan gaja crossboy.
5. Sikap atjuh tak atjuh fihak jang berkuasa, jang agaknja setengah memberi fasilitet untuk masuknja dan diterbitkannja buku2 matjam demikian.
6. Pihak jang berkuasa melarang (membatasi) masuknja buku tjergam jang bagus dari negeri sosialis (RRT misalnja). Entah karena dilatarbelakangi rasa takut pada ideologi buku2 itu jang positif mengangungkan sosialisme, tak diketahui pasti. Tetapi njatanja mereka tidak takut pada ideologi gangster dan sex buku2 komik Amerika. Tentu sadja alasan ini bukan dimaksudkan bahwa impor bukulah djalan keluar dari kesuraman literatur kanak2 kita.[8]
______________________
[1] Lihat referat Sugiarti Siswadi dalam Konfernas I Lekra di Medan, “Literatur kanak2”. Harian Rakjat. 18 Mei 1963.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.


Sumber tulisan: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, 2008. Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan: Harian Rakjat 1950-1965). Cetakan pertama, Jogjakarta: Merakesumba, hal. 187-191).

1 komentar: