Laman

02 Mei 2015

Sejarah Onderwijs (Pengajaran) Kolonial

STOVIA (Sekolah Kedokteran) Batavia (1899-1920)
(Foto: http://bimbimblues.blogspot.com)
Jika kita hendak membicarakan soal pengajaran (onderwijs) di Tanah Air kita ini—di suatu negeri yang terjajah—kita harus mengadakan perbedaan dan perbandingan antara pengajaran di suatu negeri yang merdeka dan yang tak merdeka. Pengajaran kolonial berlainan sekali dengan pengajaran di negeri-negeri yang merdeka, di mana pengajaran semata-mata dipergunakan untuk kemajuan tanah air dan bangsanya. Di negeri yang merdeka, soal onderwijs mendapat perhatian yang penuh dari pemerintah; dan Belanda sendiri di tahun 1900 mengadakan undang-undang yang dinamai “Leerplichswet” (undang-undang wajib belajar), yang memaksa orang-orang di sana untuk bersekolah. Orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya, akan didenda.

Bagaimanakah keadaan onderwijs politiek (politik pengajaran) di Indonesia, suatu tanah jajahan negeri Belanda yang mengadakan “Leerplicht” (wajib belajar) itu?

Onderwijs (Pengajaran) Kolonial
Onderwijs Politiek (politik pengajaran) di Indonesia tidak mempunyai tujuan, tidak mempunyai cita-cita kemajuan bangsa dan negeri. Yang menjadi pokok dari politik itu ialah memenuhi kebutuhan imperialisme.

Cara mengajar dan cara mengadakan sekolah, semuanya ditujukan pada kebutuhan kaum imperialis. Kebutuhan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. Di sinilah kita melihat perbedaan pengajaran kolonial dan pengajaran di negeri yang merdeka, di mana pengajaran semata-mata ditujukan pada kebutuhan rakyat dan kemajuan bangsa serta negeri. Untuk memperkuat keterangan ini, dapat dijelaskan dengan kejadian-kejadian dan angka-angka tentang riwayat onderwijs (pengajaran) di tanah air kita ini.

Riwayat Zaman V.O.C. (±1600 sampai ±1800)
Pada zaman ini ada beberapa buah sekolah—dua atau tiga—untuk bangsa kita, akan tetapi hanya untuk orang-orang yang beragama Kristen. Ini untuk memenuhi kebutuhan kaum Nasrani dan untuk menanam agama Nasrani di sini, seperti disebutkan dalam instruksi kepada G.J. dan Raden V.O.C. dalam tahun 1617 (Encyclopedie van Nederlandsch-Indië, hoofdstuk Onderwijs). Imperialisme tua belum membutuhkan pemakaian kaum buruh yang berpengetahuan. Pekerjaan imperialisme tua yang penting, ialah mendapatkan barang dengan semurah-murahnya untuk dijual ke Barat dengan semahal-mahalnya. Tidak ada kebutuhan akan kaum buruh dari bangsa kita yang mendapat pengajaran. Maka dari itu, imperialisme tua ini, yang sudah menjajah sebagian besar dari negeri Indonesia, tidak berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah.

Zaman 1800 – 1870
Gedung-gedung STOVIA dilihat dari udara
(Foto: http://bimbimblues.blogspot.com)
Pada tahun 1799, V.O.C. diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1816, ketika pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan, kita dapat mengatakan bahwa sekolah sama sekali tidak ada! (Encyclopedie van Nederlandsch-Indië, hoofdstuk Onderwijs).

Dalam Regeeringsreglement (Peraturan Pemerintah), dimulai tahun 1818 terdapat peraturan yang berhubungan dengan perguruan untuk bangsa kita. Akan tetapi, berhubungan dengan kekurangan uang dari pemerintah di negeri Belanda, di tanah air kita ini tidak dapat didirikan sekolah-sekolah, oleh karena semua uang harus mengalir ke kas negeri Belanda. Memang suatu koloni harus memenuhi kebutuhan ibu-negerinya.

Di tahun 1848, ditetapkan bahwa tiap-tiap tahun, dari begrooting (anggaran belanja) akan diambil f.25.000 untuk mendirikan sekolah-sekolah untuk bangsa kita. Akan tetapi sekolah itu tidak untuk kemajuan rakyat, dan hanya untuk keperluan pemerintah saja, yaitu, untuk “mencetak ambtenaar” (pegawai negeri). Ambtenaar-ambtenaar ini nanti harus bekerja sebagai mandor dan lain-lain di kebun-kebun kepunyaan pemerintah. Pada masa itu Cultuurstelsel masih mengamuk dengan hebatnya. Kesengsaraan rakyat pada masa itu tidak dapat digambarkan dengan perkataan. Candidaat-candidaat (calon-calon) pegawai negeri itu di sekolah mendapat pendidikan dan pelajaran yang tidak menebalkan perasaan cinta pada bangsanya. Tidak untuk keperluan dan kemajuan bangsa dan tanah airnya, akan tetapi untuk memperkuat cultuurstelsel, untuk menambah kesengsaraan rakyat dan untuk keperluan kas negeri Belanda saja.

Sesudah tahun 1850, pemerintah Hindia Belanda diwajibkan untuk memperhatikan sekolah-sekolah bagi orang-orang Eropa. Untuk sistem pendidikan di sekolah ini, mereka mempergunakan sistem yang berlaku di negeri Belanda. Timbullah sekarang soal baru, yaitu, apakah anak Indonesia dapat memasuki sekolah-sekolah tersebut? Pertama-tama, yang boleh masuk sekolah untuk orang Eropa itu, ialah putera-putera Indonesia yang beragama Nasrani (H.I.O.C. No. 12 hal. 5). Pada tahun 1863, pintu dibuka untuk anak-anak regent (bupati), dan pada tahun 1864 pintu dibuka (yang pada prinsipnya) untuk segenap anak Indonesia, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal.

Tahun 1860, di Jakarta didirikan Gymnasium Willem III. Pintu sekolah ini tertutup bagi anak Indonesia. Baru pada tahun 1874 anak Indonesia dapat masuk. Pada waktu itu hanya ada dua sekolah di mana anak Indonesia, sesudah tamat di sekolah rendah, dapat meneruskan pelajarannya, yaitu Dokter Djawa School dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ini pun untuk memenuhi kebutuhan pemerintah.

Zaman 1870 – Sekarang
Foto bersama di depan gedung STOVIA
(Foto: Collectie Tropenmuseum)
Tahun 1870 adalah tahun pembukaan pintu Indonesia untuk modal partikelir! Oleh K.B. (Koninklijk Besluit), mulai 3 Mei 1871, perguruan untuk bangsa kita mendapat perubahan; sekolah-sekolah sekarang tidak hanya mendidik/membibit pejabat, akan tetapi juga mendidik kaum buruh untuk memenuhi kebutuhan kaum kapital, yang mulai membuka onderneming-onderneming (perkebunan) dan pendirian pabrik-pabrik.

Yang boleh memasuki sekolah itu hanya anak-anak menak (bangsawan) dan anak-anak pejabat. Alasannya ialah karena memberi perguruan kepada rakyat umum, tidak mampu (H.I.O.C. No. 12 hal. 2). Sistem cultuurstelsel yang menjadikan tanah air kita sebagai suatu neraka bagi rakyatnya telah hilang dan diganti oleh perkebunan-perkebunan, yang dimiliki—tidak lagi oleh pemerintah—tetapi oleh orang partikelir, kaum kapital. Jadi, sekarang perguruan dalam cara-caranya ditujukan pada kebutuhan kaum modal, pada kebutuhan imperialisme baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan kaum modal mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah Belanda, dibandingkan dengan kebutuhan rakyat Indonesia yang berjuta-juta ini.

Pada tahun 1878, didirikan Sekolah Kepala Negeri (Hoofden Scholen), yang pada awal pendiriannya sekolah ini hanya untuk Inlandsche Ambtenaar (O.S.V.I.A. atau Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi).

Tahun 1893, didirikan Ie klasse scholen (sekolah klas I). Dan pada tahun 1914, sekolah ini dijadikan sekolah H.I.S. dan sekolah M.U.L.O. direorganisir agar supaya murid tamatan H.I.S. dapat meneruskan pelajarannya.

Tahun 1919, didirikan sekolah A.M.S. di Mataram (Yogyakarta)—sekolah ini untuk anak Indonesia yang sesudah tamat M.U.L.O. hendak meneruskan pelajarannya.

Tahun 1920, di Bandung didirikan sekolah Insinyur (T.H.S.), oleh orang-orang partikelir.

Tahun 1924, di Jakarta didirikan Sekolah Hakim Tinggi (R.H.S.) dan Sekolah Hakim Rendah (Rechtschool) dihapuskan.

Tahun 1927, di Jakarta didirikan Sekolah Tabib Tinggi (G.B.S.), dan Sekolah Stovia dihapuskan.

Bertambahnya sekolah-sekolahan tersebut di atas bergandengan dengan bertambahnya kapital asing di tanah jajahan.

Penjelasan di atas telah lebih dari cukup kiranya untuk menguatkan pendapat kita bahwa onderwijs (pengajaran) yang diadakan dari pemerintah tidak untuk “Sociale Ophenffing” (peningkatan hidup sosial) rakyat Indonesia, bahkan untuk keperluan imperialisme di Indonesia. Ingatlah bahwa salah satu sifat dari imperialisme ialah: berusaha supaya rakyat yang terjajah tetap tinggal bodoh.
Guru besar R.H.S. pada upacara pembukaan Rechshoogeshool te Batavia (28 Oktober 1924).
Duduk di depan paling kiri adalah Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat - guru besar pertama bumipoetra Hindia Belanda.
(Foto: wikipedia.org)


Tulisan ini dirangkum dari buku “Belenggu Ganas”, Capita Selecta Kelima, tulisan Pitut Soeharto dan drs. A. Zainoel Ihsan, terbitan Aksara Jayasakti-Jakarta, tahun 1982.

3 komentar:

  1. Selamat hari pendidikan nasional. Semoga dunia pendidikan kita kedepannya semakin lebih baik lagi
    Salam kenal

    BalasHapus