Laman

11 Maret 2014

Supersemar: Kudeta Merangkak MPRS

Oleh Asvi Warman Adam (Sejarawan, Peneliti Utama LIPI)


Dua versi isi Surat Perintah 11 Maret 1966
Ada berbagai cara melihat dan menganalisis Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Salah satunya dengan menggunakan teori "kudeta merangkak". Kudeta merangkak adalah rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 sampai 1966 (keluarnya Supersemar) atau 1967 (pejabat presiden) atau 1968 (menjadi presiden).

Pandangan ini merupakan analisis post factum yang dikeluarkan setelah peristiwa itu terjadi. Dengan melihat rangkaian kejadian tersebut, ditarik kesimpulan. Jadi, bukanlah sesuatu yang direncanakan secara mendetail dari awal sampai akhir.

Dari pengamatan ini, terlihat bahwa proses pengambilan kekuasaan itu dilakukan secara bertahap sehingga disebut creeping coup (kudeta merangkak atau kudeta meloncat-loncat). Yang merupakan paradoksal di sini, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara cepat dan tidak terduga. Namun di sini, ternyata itu dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap.

Beberapa orang telah mengemukakan pendapatnya tentang kudeta merangkak, seperti Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan Subandrio. Menurut Subandrio, kudeta merangkak Soeharto terdiri atas empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Yani dll. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang loyal terhadap Soekarno, termasuk Subandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden dan 1968 sebagai presiden).

Merangkak
Ternyata kudeta merangkak itu bukan hanya dilakukan Soeharto dan kelompoknya, tetapi dilaksanakan berbarengan dengan apa yang saya sebut "kudeta merangkak" MPRS. MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Walaupun, ironisnya, setelah kekuasaan itu diperoleh, MPRS pun "dimatikan" secara perlahan-lahan.

Uraian tentang kudeta merangkak ini--walaupun tidak disebut dengan istilah demikian--diberikan secara gamblang oleh Prof. Dr. Suwoto Mulyosudarmo (alm.) dalam disertasinya pada Universitas Airlangga Surabaya tahun 1990 mengenai Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Tahap-tahap kudeta merangkak MPRS dilaksanakan secara berikut:

Pertama, Supersemar yang dikeluarkan 11 Maret 1966 dikukuhkan menjadi TAP IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966[1].

Kedua, tanggal 5 Juli 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang berisi antara lain: a) Penetapan tidak perlunya jabatan Wakil Presiden, b) Apabil Presiden berhalangan, Pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden.

Ketetapan MPRS ini jelas melanggar UUD 1945 karena di dalam UUD 1945 ditetapkan jabatan wakil presiden. Kedua, apabila presiden berhalangan, maka wakil presiden yang menggantikannya, bukan pemegang SP 11 Maret. Lagi-lagi pasal ini melanggar UUD 1945.


Nawaksara Bung Karno
Ketiga, tanggal 10 Januari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan Pidato Pelengkap Nawaksara kepada pimpinan MPRS. Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Nawaksara. Keputusan MPRS berbeda dengan Ketetapan MPRS karena Keputusan MPRS itu hanya bersifat internal MPRS.

Keempat, tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno/Mandataris MPRS mengeluarkan Pengumuman tentang Penyerahan Kekuasaan kepada Pengemban TAP MPRS No. IX/MPRS/1966. Penyerahan kekuasaan semacam ini tidak ada dasarnya dalam UUD 1945.

Penyerahan kekuasaan berarti mengalihkan kekuasaan dan tanggungjawab, yag secara teoritis harus dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi kekuasaan. Penyerahan kekuasaan itu berbeda dengan pengembalian mandat. Pengembalian mandat tidak membutuhkan persetujuan pemberi kuasa, sedangkan proses peralihan kekuasaan harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemberi kekuasaan. Pemberi kekuasaan kepada presiden adalah MPRS.

Jadi, kalau presiden selaku mandataris MPRS mengembalikan mandatnya kepada MPRS, ia tidak perlu meminta persetujuan dari MPRS. Tetapi kalau presiden akan menyerahkan kekuasaannya kepada orang lain, ia harus meminta persetujuan MPRS.

Ini yang tampaknya dicoba dikoreksi dengan TAP No. XXXIII/1967 yang dikeluarkan 20 hari kemudian. Waktu 20 hari itu sebetulnya dapat dikategorikan sebagai apa: kevakuman pemerintahan atau ada pemerintahan tetapi tidak sah menurut konstitusi?

Kelima, tanggal 12 Maret 1967, MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.

TAP ini mempunyai beberapa masalah. Pertama, mendiskreditkan Presiden Soekarno dengan mengaitkannya dengan percobaan kudeta Gerakan 30 September. Kedua, ayat-ayat dalam TAP ini bertentangan. Pasal 6 TAP ini menyatakan "penyelesaian persoalan hukum menyangkut Dr. Ir. Soekarno akan dilakukan dengan ketentuan hukum dan keadilan dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pejabat Presiden." Kalau mau diselesaikan secara hukum, tentu Soekarno harus diadili (niscaya beliau akan bebas karena tidak akan terbukti bersalah).

Tetapi pelaksanaannya diserahkan Pejabat Presiden: ini yang kontradiktif dengan ketentuan yang pertama. (Kenyataan, sampai Bung Karno wafat tahun 1970, Presiden Soeharto membuat kasus ini mengambang tanpa keputusan hukum).

Keenam, bersamaan dengan pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto selaku pemegang Supersemar diangkat sebagai "Pejabat Presiden". Lembaga Pejabat Presiden adalah lembaga "ekstra konstitusional" karena tidak dikenal dalam UUD 1945.


Soeharto bersama pendukungnya.
Ketujuh, tanggal 28 Februari 1968, muncul Pernyataan Pendapat DPRGR No. 12/DPRGR/III/1966-1967 yang isinya mendesak Pengemban TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk melakukan penyegaran keanggotaan MPRS. Anggota MPRS yang loyal kepada Soekarno dikeluarkan dan diganti dengan pendukung Soeharto.

Kedelapan, tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden sampai terpilihnya presiden hasil pemilihan umum. Dalam Sidang MPRS tahun 1966 ditetapkan, sebetulnya pemilihan umum akan dilaksanakan pertengan tahun 1968. Soeharto setelah terpilih jadi presiden langsung menundanya sampai tahun 1971.

Setelah Soeharto menjadi presiden, yang pertama dilakukan adalah pergi ke Jepang untuk merundingkan utang luar negeri. Setelah itu, MPRS yang telah "berjasa" menjadikannya sebagai presiden mulai dimatikan secara perlahan-lahan. Lembaga ini dijadikan sebagai lembaga yang hanya bersidang sekali lima tahun.

Kegiatan Badan Pekerja MPRS lantas diboikot oleh Fraksi Golkar dan ABRI dengan tidak menghadiri sidang-sidangnya. Jenderal Nasution dan juga Subchan Z.E. yang berjasa menjadikan Soeharto sebagai presiden disingkirkan. Habis manis, sepah dibuang.

_________________
[1] Jenderal TNI AH. Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.


Sumber: Jawa Pos (kliping).

Bacaan terkait:
1. Dimensi Internasional Supersemar
2. Mengakhiri Kontroversi Supersemar
3. Kudeta

3 komentar: