Laman

25 Januari 2008

Langkah Penyelesaian Tragedi '65

Jika kita bermaksud menyelesaikan persoalan bangsa, terutama tragedi '65. Maka mulailah menyelesaikan persoalan yang berlangsung saat ini, yakni diskriminasi. Dilanjutkan dengan pelanggaran HAM berat pasca peristiwa G30S atau Gestok. Kemudian menelusuri peristiwa tersebut sebagai masalah pokok dan mengungkapkannya dengan transparan dan benar.

Untuk menyelesaikan masing-masing persoalan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghentikan Diskriminasi melalui pemberian rehabilitasi;

2. Mengungkap kebenaran pelaku pelanggaran HAM Berat pasca tragedi G30S atau Gestok;

3. Pengkajian ulang peristiwa G30S atau Gestok secara jujur dan objektif.

Membenci Orde Baru Adalah Benar dan Adil

Itulah sebabnya, maka dalam kegiatan memperingati “40 tahun peristiwa 65” ini, para korban 65 dan keluarga mereka (dan juga yang bukan korban 65) tidak perlu takut-takut lagi, tidak boleh ragu-ragu atau tidak patut segan-segan untuk melontarkan kemarahan mereka terhadap para tokoh-tokoh terkemuka rejim militer Suharto dkk. Sudah sewajarnyalah bahwa mereka marah, juga sudah sepatutnya, atau sudah selayaknya, atau, bahkan, seharusnya ! Marah, atau benci, atau brontak terhadap segala kesalahan besar atau kejahatan parah Orde Baru adalah sikap yang pasti dibenarkan oleh rasa keadilan dan oleh nalar yang sehat. Mengutuk Orde Baru dan menghujat Suharto adalah benar dan sah.
Sekarang, setelah mengalami berbagai macam perlakuan tidak berperikemanusiaan selama 40 tahun, para korban peristiwa 65 mempunyai hak sepenuhnya – sebagai manusia biasa dan juga sebagai warganegara Republik Indonesia -- untuk menuntut keadilan dan pemulihan hak-hak politik, sosial, dan kebudayaan, yang telah dirampas secara sewenang-wenang oleh rezim militer Suharto dkk. Tuntutan mereka ini adalah masuk akal, adil, dan wajar.
Dilihat dari pandangan yang lebih jauh, kelihatanlah dewasa ini bahwa posisi para korban peristiwa 65 sudah mulai berobah. Kalau selama 32 tahun mereka tidak bisa, atau tidak mungkin “ bersuara” sama sekali tentang kebengisan, kebuasan, atau kebiadaban yang telah mereka terima, sekarang mereka bisa berdiri tegak sambil menuding dan berteriak menggugat :”Kami tidak bersalah sama sekali! Kalianlah yang salah,dan karenanya kami menuntut keadilan!”.

Masih Memuji-muji Orde Baru Adalah “Sinting”

Itulah sebabnya, maka walaupun rezim militer Suharto baru 7 tahun “lengser” dari kekuasaan mutlaknya yang sudah dipegangnya erat-erat secara tangan besi (dan tangan berdarah!!!) selama 32 tahun, maka makin sedikitlah jumlah orang-orang yang terang-terangan masih berani berkaok-kaok bahwa Suharto adalah pemimpin besar bangsa atau bahwa Orde Baru adalah rejim militer baik yang telah berjasa besar bagi negara dan rakyat. Lambat laun, makin banyaklah orang -- termasuk tokoh-tokoh masyarakat dan kaum intelektual -- yang berani terang-terangan mengkritik segi-segi buruk Suharto beserta keluarganya atau menghujat kesalahan dan kejahatan Orde Baru. Sekarang, berani terang-terangan memuji-muji Orde Baru adalah sesuatu yang bisa dianggap “aneh” atau ”sinting” oleh banyak orang.
Karena, kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim militer Orde Barunya Suharto dkk sudah begitu parahnya (ditambah sudah begitu banyaknya, serta sudah begitu lamanya!!!) sehingga sulit sekali bagi para tokoh-tokohnya untuk membantah secara serius adanya berbagai kesalahan perikemanusiaan atau kejahatan pelanggaran hak-hak azasi manusia itu. Hanya mereka yang betul-betul nalarnya rusak atau hatinya sudah benar-benar membusuklah (atau yang fikirannya tidak waras) yang berani mengingkari atau tidak mengakui adanya berbagai kesalahan atau kejahatan Orde Baru yang sudah dilakukan sejak tahun 1965.
Sebab, tentang berbagai macam kejahatan dan pelanggaran itu buktinya masih ada sekarang di mana-mana di seluruh Indonesia, dan saksi hidupnya juga masih banyak sekali. Mereka itu terutama terdiri para keluarga para korban yang dibunuh secara besar-besaran tahun 65 dan juga keluarga para tapol yang sudah ditahan secara sewenang-wenang dalam jangka lama atau dipenjarakan tanpa pengadilan. Tetapi tidak hanya mereka saja, orang-orang dari kalangan lainpun banyak yang sudah menerima perlakuan yang tidak adil.

Konflik Antara Tradisi Sufi dan Tradisi Fiqh

Al Hallaj dikenal sebagai tokoh sufi yang controversial dan ajarannya sangat keras sehingga ulama-ulama fiqh (syariat) menganggapnya sebagai orang sesat yang membahayakan. Tidak hanya membahayakan kemapanan syariat tetapi membahayakan pula bagi kelangsungan penguasa di saat itu.

Al Hallaj berpendapat bahwa suatu keadaan Tuhan Allah mengambil tempat di dalam tubuh manusia. Inilah konsep hulul. Menurutnya, hal itu bisa terjadi manakala seorang hamba telah benar-benar berhasil melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya. Teori tersebut semakin memancing emosional ulama dan penguasa sehingga Al Hallaj berikut konsep ajarannya harus dimusnakan. Al Hallaj dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam (fiqh) kemudian dihukum oleh penguasa Baghdad pada tahun 922 Hijriyah. Hal itu karena pernyataan Al Hallaj sendiri ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan).

Pasca tragedi Al Hallaj, maka para ulama fiqh menjaga jarak dengan ulama sufi. Ulama fiqh menilai bahwa ulama sufi semakin liar, baik dalam ajaran maupun dalam praktek ibadahnya.
Jauh sesudah itu, muncullah seorang ulama di tanah Jawa yang tidak dikenal nama aslinya. Sehingga disebutlah Syekh Siti Jenar. Sesungguhnya nama itu bukanlah nama sebenarnya, hanya sebutan. Sebagaimana budaya Jawa pada saat itu, masyarakat lebih suka memanggil sebutan seseorang dengan nama daerah asal atau julukan-julukan lainnya ketimbang nama sebenarnya.

Syekh Siti Jenar mengembangkan teori Manunggaling Kawula Gusti, yang kemungkinan besar terpengaruh oleh ajaran tokoh sufi di Timur Tengah, terutama Al Hallaj.

Seperti halnya Al Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lainnya, Syekh Siti Jenar pun mendapatkan perlawanan keras dari para ulama fiqh yang telah menjalin hubungan baik dengan penguasa kerajaan Demak Bintoro. Tatkala itu, Raden Patah beragama Islam dan kerajaannya pun diproklamirkan sebagai kerajaan Islam. Tak urung, konflik antara ulama fiqh, dalam hal ini para wali, dengan Syekh Siti Jenar tidak bisa dihindari.
Selama ini berkembang cerita bahwa para wali (terutama wali songo) gencar memusuhi dan menumpas Syekh Siti Jenar berikut konsep ajarannya. Hingga pada akhirnya Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh mereka.

Versi lain, yang ditemukan dalam Serat Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Raden Sosrowijoyo berupa sastra tembang dijumpai keterangan bahwa Syekh Siti Jenar meninggal dunia bukan karena tangan para wali, melainkan meninggal dengan caranya sendiri.

Ditarfsirkan, bahwa ulama fiqh masih bisa ‘bersandiwara’ dengan penguasa (Raden Patah). Artinya, secara implisit mereka menerima ajaran Syekh Siti Jenar. Mereka berharap agar ajaran ma’rifat itu belum waktunya disampaikan kepada orang-orang awam. Oleh karena itu, yang mereka ‘bunuh’ bukanlah Syekh Siti Jenar, melainkan konsep dan teori ma’rifat itu. Karena ketika setelah menemui Syekh Siti Jenar dan kembali ke Demak Bintoro, para wali tidak bisa menunjukkan bangkai ‘wali murtad’ tersebut. Melainkan mereka menunjukkan bangkai anjing buduk dengan berbagai dalih atau alasan yang dikemukakan kepada Raden Patah.