Laman

29 November 2008

Fungsi DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat versus Politik DPR dalam Kepentingan Kekuasaan

"Goverment shouldn't be run like a business; it should be run like a democracy"
(Denhardt and Denhardt, 2007)


Prolog
Ironis memang jika melihat berbagai perilaku anggota Dewan kita selama ini dalam memutuskan setiap kebijakan negara. DPR selalu memunculkan kontroversial. Misalnya: disaat negara kita dalam kondisi terpuruk, sebagian elit politik seperti DPR tersebut meminta kenaikan gaji, memutuskan aturan tentang rumah tangga DPR (anggaran DPR dinaikkan), bahkan setiap kebijakan yang diambil secara cepat bila hal ini menyentuh langsung dengan kebutuhan atau kepentingan mereka.

Lalu pertanyaannya adalah DPR kita ini mewakili siapa? Mewakili diri sendiri ataukah mewakili rakyat yang telah menyerahkan amanahnya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat? Ataukah DPR kita sedang menjalankan urusan-urusan bisnis di lembaga yang terhormat itu. Mengapa? karena berbagai pengalaman menunjukkan bahwa produk-produk aturan negara vis a vis untuk kepentingan masyarakat harus dibayar dengan mahal. Betapa indahnya jika anggota Dewan kita menjalankan fungsi DPR sebagai wakil Rakyat yang sesungguhnya. Gaji mereka dibayar dengan mahal oleh negara. Secara ideal harus berbanding lurus dengan kualitas kinerja yang dihasilkan, sebagai perwujudan dari fungsi-fungsi yang dijalankan dengan tidak memihak pada afiliasi-afiliasi tertentu. Pada rana ini kita mempertanyakan fungsi-fungsi DPR versus Politik DPR dalam bingkai kepentingan kekuasaan. Mau dibawah kemana fungsi-fungsi DPR kita?

Fungsi DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Sebagai proposal dalam diskursus diskusi kita pada malam ini. Sedikit menggambarkan fungsi-fungsi DPR sebagai Dewan Perwakilan Rakyat dan bahkan ada yang tidak menjadi fungsi pun masuk sebagai agenda yang selalu dipertimbangkan? Fungsi DPR pertama, sebagai legislasi (diwujudkan dalam bentuk Undang-undang atau Perda di daerah). Fungsi DPR kedua, fungsi anggaran (diwujudkan dalam menyusun dan menetaplan APBN, dan atau APBD di daerah). Fungsi DPR ketiga, pengawasan (diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap implementasi Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah). Sisi lain dari agenda yang tidak dimasukkan tetapi memiliki kekuatan adalah koalisi, kepentingan, kompromi dalam memutuskan kepentingan-kepentingan elit politis dalam kancah kekuasaan.

Politik DPR dalam Kepentingan Kekuasaan
Kepentingan politik DPR pada rana publik ini tak dapat dihindari, karena secara empirik kekuasaan politik mengindikasikan "siapa yang mendapat apa, kapan dan bagaimana" (Laswell, 1936), "pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan" (Morgenthau, 1948), "seni dan ilmu pemerintahan atau sosialisasi konflik" (Schattschneider, 1960), "pola-pola kekuasaan aturan dan kewenangan" (Easton, 1953), "konflik murni, yaitu antara sini dan melawan sana" (Schmitt, 1976), dan "penyelarasan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan lewat kebijakan publik" (Crick, 1962), demikian digambarkan Caporaso and Levine (1992) dalam menganalisis kepentingan-kepentingan politik yang dapat mempengaruhi kepentingan publik pada lembaga pemerintah.1) Artinya struktur kekuasaan yang dijalankan lembaga pemerintah di tandai dengan otoritas atasan bawahan dalam lembaga (top-down).2)

Aktor-aktor yang melibatkan diri dalam pergulatan kepentingan negara versus kepentingan pribadi adalah Dewan Perwakilan Rakyat berfungsi sebagai formulator dalam pembangunan negara dan pemerintah sebagai implementor dalam mewujudkan berbagai agenda negara yang telah diputuskan di Dewan Perwakilan Rakyat. Adalah syarat kepentingan. Mengapa? karena sebuah kebijakan negara pada tingkat atau level seperti ini, bukan lagi mempertimbangkan kepentingan masyarakat, tetapi lebih pada kepentingan aktor-aktor, seperti birokrat (pemerintah), politisi (DPR) untuk memaksimalkan kepentingan, keinginan, tekanan politik dan hubungan baik antara lembaga sosial dalam rangka mendapatkan imbalan.3) Dalam mengagendakan sebuah kebijakan negara posisi masyarakat menjadi tidak memiliki kekuatan yang berarti. Negosiasi, kompromi dan koalisi politik dalam mempertimbangkan kepentingan-kepentingan elit menjadi pergulatan yang tidak check and balance untuk kepentingan rakyat.

Epolog
Sudah saatnya anggota DPR kita merubah perilaku politiknya ke arah yang konstruktif. Dimana agenda-agenda kebijakan ke depan, sudah mengikutsertakan masyarakat sebagai salah satu aktor yang berfungsi untuk berpartisipasi dalam agenda pembangunan dalam perspektif formulasi, implementasi, dan evaluasi, sehingga masyarakat merasa memiliki tanggungjawab dalam mengontrol perjalanan kerja-kerja DPR ke depan. Semoga berhasil. Amin...



Oleh: Saiful Deni
(pemerhati masalah-masalah kebijakan publik)

Tulisan ini disampaikan pada diskusi bulanan Komunitas Forum 28-an, Kampoeng Boedaja, tanggal 29-11-2008. Malang.


____________________
1) James A, Caporaso and Levine P, David, 1992. Theory of Political Economy, Cambridge University Press, p.8.
2) Janet, V. Denhardt and R.B. Denhardt, 2007. The New Public Service, ME, Sharpe New York, p.29.
3) Jeffy Frieden (et.al.), 2000. Modern Political Economy and Latin America Theory and Policy, West-View Press, USA, p.37.

3 komentar: